After the first visit in July 2009, another visit from Denmark Community in Western Australia continues to donate some fund for Suryani Institute (11/7) in helping mental disorders in Bali. “This is just the beginning, we will keep coming back and hopely to support more”, said Steven and Lorraine Ransley in their visit to the institute. The connection has been made to help the institute in treating mental disorder after SBS broadcast their documentary film “Bali’s Shame”. The awareness and pressure from outsider is what they need after no attention from the government to make mental health as their priority program. “More than 7000 people are suffering from chronic mental disorder that not been treated for more than 5 years”, as Professor Suryani trying to explain the fact in Bali.
Tjokorda Sukawati ungkap Jalan Layang
Suryani Institute for Mental Health (SIMH) bekerja sama dengan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (PDSKJI) Bali, Yayasan Wreda Sejahtera (YWS) Bali, Ikatan Guru TK Indonesia (IGTKI) Bali, dan RRI Denpasar mengadakan Seminar Jangan katakan, “Aku Sudah Tua” sebagai rangkaian dari Seminar Kesehatan Mental 2009 pada Sabtu (12/9), pukul 09.00-12.00 wita, bertempat di Wantilan DPRD Bali, Renon.
Pada seminar ini Tjokorda Raka Sukawati di usia 78 tahun, yang juga pendiri Fakultas Teknik Universitas Udayana, telah pensiun dari PT. Hutama Karya, namun masih tetap berkarya bahkan menghasilkan teknologi sosrobahu versi kedua yang lebih unggul soal kepraktisan dibandingkan versi sebelumnya dijadikan tamu khusus untuk memberikan inspirasi bagi para lanjut usia lainnya. Penemuan Sosrobahu yang penting di bidang jalan tol ini, dengan konsultan paten Dr.Ir. Heraty Noerhadi Rooseno, baru mendapatkan patennya tahun 1995. Padahal telah mendaftar sekitar tujuh tahun sebelumnya.
“Impian saya hanya ingin maha karya saya ini dapat membantu masyarakat Bali memecahkan permasalahan lalu lintas yang semakin semrawut dengan tanah yang kian hari semakin banyak yang terjual setelah dibukanya jalan baru di suatu daerah”, ungkap Tjokorda Sukawati. Sementara itu Prof Suryani berjanji untuk mewujudkan impian tersebut sehingga orang Bali bisa bangga dengan karya orang Bali sendiri.
Trauma, Terpaksa dipasung Selama 25 tahun
Akibat trauma mendengar cerita ayahnya pernah membunuh salah seorang anaknya, anak-anak yang lain tidak berani melepaskan pasungan terhadap ayahnya selama lebih dari 25 tahun.
Nyoman Bg (Bagia), laki-laki yang sudah mulai tampak tua ini kini berusia 60 tahun. Warga Br Pangitebel, Antiga Kelod, Manggis ini terlihat ramah ketika rombongan LSM Layanan Hidup Bahagia yang dipimpin Prof Dr dr Luh Ketut Suryani SpKJ(K) mengunjunginya. Pihak keluarga pun terkesan sangat terbuka untuk menunjukkan jalan dimana tempat Bg dipasung. Bau kencing dan kotoran jelas tercium ketika memasuki bilik kosong tempat Bg dipasung meskipun terkesan sangat bersih dan jauh dari kesan diterlantarkan.
Sehari-harinya Bg diurus oleh 2 orang anaknya, Ni Luh Sinar dan Made Rawi dari hasil perkawinan keduanya. “Kami hanya mendengar bahwa ia nyempal anak dari perkawinan pertamanya, tapi kami tidak pernah melihatnya melakukan hal tersebut”, tutur Made Rawi seraya menjelaskan alasannya keluarga tidak berani melepas Bg. Ia menikah sebanyak 2 kali, yang pertama dengan Dayu dari Tabanan namun sudah cerai, dan yang kedua dengan orang Banyuwangi namun juga sudah meninggal 20 tahun yang lalu karena sakit tifus. Bg sendiri merupakan anak ke 6 dari 9 bersaudara.
Sinar juga menjelaskan bahwa sekarang ini memang terlihat sangat ramah, namun kalau sudah kumat tidak ada yang berani mendekat karena bicara selalu keras-keras dan kasar. Sementara itu menurut penuturan tetangganya, Bg sempat bekerja di Restoran Hongkong di Denpasar selaku koki, tapi semenjak sakitnya ia tidak pernah lagi kembali bisa bekerja ke Denpasar. “Kalau kumat, uang kepeng Bali yang asli itu bisa dipatahkannya dengan menyelipkan di jari-jarinya”, tambah Rawi. Selain itu jendela, pintu rumah dan tembok juga tidak luput dari amukannya dan bahkan sempat membakar Pura Prajapati.