Menurut Prof. Dr. dr. L.K. Suryani, Sp.KJ. (K)., Ketua Suryani Institue for Mental Health, banyak warga masyarakat menganggap gangguan jiwa sebagai kutukan Tuhan dan tidak dapat disembuhkan. “Siapa pun dapat terkena gangguan jiwa, orang kaya atau miskin, pejabat atau masyarakat biasa,” ujarnya dalam seminar “Gangguan Skizofrenia”, Sabtu (14/2) di Wantilan DPRD Bali.
Ia mengungkapkan, adanya sebagian penderita gangguan jiwa yang dirantai, dikurung atau dikucilkan. Namun, kenyataannya, kata ahli kejiwaan FK. Unud ini, banyak dari mereka berhasil bangkit dan mampu merasakan indahnya hidup jika ditangani dengan baik.
Menurut Koordinator Wilayah LHB dr. Cokorda Bagus Jaya Lesmana, Sp.KJ skizofrenia atau lebih dikenal gangguan jiwa mulai muncul akhir masa remaja sampai dewasa muda.
Ia mengungkapkan, satu di antara 100 orang menderita gangguan jiwa. Ada tiga gangguan jiwa yakni fungsi pola berpikir terganggu, fungsi bahasa dan komunikasi terganggu, serta terganggunya fungsi dalam perilaku. Jika diajak mengobrol mereka tidak nyambung, berperilaku aneh, bahkan tidak mengenakan pakaian.
Ia menyebutkan ada dua gejala, positif dan negatif. Pada gejala positif gangguan ini tidak terjadi seketika. Ada proses yang mendahuluinya.
Gejala ini berlangsung sekitar satu bulan. Ciri pertama, mendengar suara-suara atau halusinasi. Ciri kedua, adanya waham yakni keyakinan salah yang terus dipertahankan. “Misalnya dia mengaku yakin sebagai keluarga Presiden Sukarno atau mereka merasa sebagai utusan Tuhan. Mereka berpakaian seperti nabi.
Padahal, sehari-hari tidak pernah bersembahyang,” papar Dokter Spesialis Kejiwaan FK Unud ini.
Gejala negatif seperti penarikan diri, tidak mau bergaul, atau tidak mau masuk sekolah. Ada kesulitan bagi mereka untuk merasakan kesenangan seperti yang tadinya bermain sepak bola, menyanyi, tetapi kini mulai merasakan tidak nyaman.
“Mereka mulai tidak mandi, dan mengalami gangguan tidur, sering bermimpi buruk dan mengerikan. Bahkan tidak tidur lebih dari tujuh hari, tidak mampu mengontrol dirinya, dan mulai tidak mengenakan pakaian,” ujarnya.
Penyebab gangguan jiwa tidak ada yang pasti. Teori kedokteran mengungkapkan ada yang melihat dari sudut biologis karena gangguan nerotrasmitter di otak sehingga sulit mengontrol dirinya.
Penyebab lain dari sudut psikologis. Bagaimana perkembangannya sejak mereka dilahirkan sampai mereka dibesarkan. Tak jarang, cara mendidik orangtua berpengaruh.
Penyebab lain, trauma. Ada trauma yang membuat mereka melihat kejadian itu sangat mengerikan sehingga mereka tidak mampu bereaksi atau merespons atau beradaptasi sampai normal kembali.
Contoh, banyak warga masyarakat Bali mengalami trauma luar biasa pasca-pembunuhan besar-besaran tahun 1965-1966. Tak jarang mereka menularkan trauma itu kepada anak dan cucu mereka.
Faktor lain karena stres dan psikososial, karena putus cinta, atau memiliki utang akhirnya membuat mereka jatuh dalam gangguan jiwa.
Dalam seminar itu juga terungkap kasus bunuh diri di Bali sangat tinggi. Sebanyak 48% kasus disebabkan ganguan jiwa berat atau depresi. Komang Adi, S.E., relawan LHB, melakukan penelitian di Kabupaten Karangasem. “Lebih dari 1000 orang menderita ganguan jiwa berat. Mereka tidak mau makan, tidak mau minum, merenung saja, mereka pun dipasung, dibiarkan tidur di tanah dekat kandang babi, tidak ada yang mengurus. Mereka dibiarkan begitu saja tanpa pertimbangan mereka juga manusia,” ujar Komang.
Data tersebut didapatkan Komang, setelah terjun ke rumah-rumah penduduk. Kepala desa maupun puskesmas di sana tidak mempunyai data pasti berapa jumlah masyarakat yang menderita ganggan jiwa psikosis. “Sebagian warga malu mengatakan jika ada keluarganya yang menderita gangguan jiwa. Tak jarang mereka marah kalau keluarganya dikatakan gila. Setelah dijelaskan apa tanda-tanda ganggun jiwa dan efek gangguan jiwa, akhirya mereka mau menerima saya,” tutur Komang.
Kobra Sembuh tanpa Obat
SALAH seorang penderita gangguan jiwa yang sudah sembuh, Kobra, menceritakan awal mula ia mengalami gangguan jiwa. Kobra terlahir dari sebuah keluarga sederhana. Ibunya mendidiknya sangat keras. Kobra kecil sering dipukul dengan kayu sampai ia duduk di kelas II SMP. Namun, ia mengaku saat itu ia tidak menaruh dendam pada ibunya. Ia menyadari, dirinya nakal maka layak untuk dipukul. Kobra juga sering dicaci maki ibunya. “Tiada hari tanpa pukulan dan cacian,” ungkap lelaki yang kini menguasai empat bahasa asing, Jepang, Prancis, Inggris, dan Belanda ini.
Tamat SMA dia kuliah di Unhi jurusan Tradisional Healing. Saat itu pikiran buruk terus menghantuinya. Ia mencoba berkenalan dengan dunia spiritual, berburu orang spiritual, dan masuk dalam kelompok meditasi. Namun, semua usahanya sia-sia. Ia tetap mengalami halusinasi.
Setelah cukup lama terjadi debat dalam dirinya, mulai muncul perintah untuk menyakiti orang lain. Sejak itu mulai muncul rasa dendam pada ibunya. Trauma itu menyuruh Kobra melakukan kekerasan yakni untuk membunuh ibunya. Tetapi, ia tidak melakukannya karena mencoba untuk berjuang melawan suatu kekuatan yang membuatnya ingin melakukan kekerasan itu. Kobra berusaha berjuang sendiri, tanpa ada yang tahu ia sedang mengalami gangguan jiwa. Kobra tidak mempunyai uang untuk membeli obat. Walaupun Kobra bekerja, uang hasil jerih payahnya tidak cukup untuk membeli obat karena harganya mahal.
Ia menuturkan, proses untuk dapat normal kembali dari ganguan jiwa sangat panjang dan melelahkan. Sekitar dua tahun ia berjuang dengan meditasi pagi dan malam. Ia datang ke pantai memuntahkan semua masalahnya lewat teriakan-teriakan.
Akhirnya Kobra menyadari, trauma masa kecil adalah penyebab gangguan jiwanya. Kesadaran itu ia dapat setelah mengikuti Program Memahami Jati Diri yang digelar SIMH. Ketika itu Kobra dibawa ke masa lalunya. Ia melihat kejadian masa kecilnya membuat ia takut menghadapi hidup. Bahkan saat itu Kobra berucap, ibunya adalah setan, yang selalu merasuki dirinya. Setelah program itu, Kobra tetap berjuang untuk mengeluarkan traumanya dengan meditasi spirit arahan SIMH. Kobra akhirnya berhasil mengeluarkan masalahnya dengan jalan mengobrol sesama teman. Kobra adalah salah seorang penderita gangguan jiwa yang berhasil berjuang sendiri untuk sembuh tanpa obat.
Trauma tak Mudah Hilang
Agus Suandana, siswa SMA di Denpasar menuturkan, sejak kecil ketika ayahnya masih hidup, ia selalu dipukul, ditendang, bahkan sampai matanya merah. Kejadian itu terus membayanginya sampai ia remaja dan membuat ia ingin terus menyakiti adiknya, walaupun ia sadar, tindakan itu salah. Ia mengaku emosinya labil dan selalu ingin marah dan melampiaskannya pada adiknya.
Menurut Dokter Cok Bagus, trauma tidak dapat hilang begitu saja. Trauma tetap tersimpan rapi dalam memori karena saat kita mengalami trauma semua panca indra bekerja. “Apa pun yang dialami akan terekam dalam memori kita. Kemudian pada saatnya nanti secara tiba-tiba langsung menjadi referensi untuk melakukan tindakan saat situasi mendukung dan membuatnya melakukan tindakan yang sma dengan yang ada dalam memorinya. Bisa dalam tindakan marah atau jengkel, bahkan menangis,” ujarnya.
“Penting, bagaimana Anda dibesarkan orangtua. Jika sejak dalam kandungan cukup diberi kasih sayang, itu akan menjadi modal Anda menghadapi trauma. Bukan berarti tiap orang yang mengalami trauma akan mengalami gangguan jiwa. Tergantung mereka apakah mau belajar mengatasinya atau tidak,” paparnya.
Wayan Rusmi, menanyakan bagaimana cara orangtua menghadapi anak remaja yang menarik diri dari pergaulan dan sulit diajak berkomunikasi. Apakah itu termasuk gangguan jiwa?
Menurut Dokter Cok Bagus gejala gangguan jiwa biasanya sering terjadi pada saat masa akhir remaja. Jika mereka tidak dapat belajar mengenal dirinya dan belajar dari pengalaman mereka dapat jatuh dalam gangguan jiwa. Apalagi lingkungan keluarga dan sosial tidak mendukung dengan sering melakukan kekerasan. Orangtua sering mengeluh tentang anak remajanya yang sulit diatur dan suka melawan.
“Remaja merasa dirinya orang dewasa dan di sisi lain mereka tetap membutuhkan bimbingan orangtuanya. Di sinilah orangtua harus dapat memosisikan diri sebagai teman bagi remaja,” ujarnya.
Hermani, guru TK di Denpasar mengatakan anaknya yang duduk ke kelas II SD, sulit bergaul. Dari pengakuan gurunya, anaknya sering berdiri di belakang kelas saat guru menerangkan pelajaran. Anak itu kadang bicara dan asyik sendiri. Waktu istirahat, saat teman-temannya bermain, ia diam sendiri dalam kelas.
Menanggapi itu, Dokter Cokorda Bagus mengatakan, ketika orang sudah asyik bermain dalam dunianya sendiri sering sudah divonis gangguan jiwa. Kalau gangguan jiwa harus sudah ada halusinasi dan waham. Kalau itu tidak ada, kasus ini temasuk gangguan perkembangan. Ini masih dapat diperbaiki. Mungkin di rumah sering menghabiskan waktunya menonton TV. Ketika di rumah ia sering bercakap-cakap dengan televisi.
Prof. Suryani menambahkan guru TK dan SD hendaknya dapat menemukan ganguan jiwa ini lebih awal. Ketika melihat anak bicara sendiri, guru harus waspada. Orangtuanya sebaiknya diberi tahu, atau konsultasikan ke psikiater sehingga anak tidak sampai mengalami gangguan jiwa. Orangtua juga perlu introspeksi diri apakah hal itu tidak terjadi akibat tindakan dirinya sebelum menyalahkan orang lain.
“Boleh memarahi anak, namun, setelah itu ajak anak itu bicara. Jelaskan kepada anak mengapa ia dimarahi, sehingga trauma itu tidak disimpan sampai tidur. Kalau sampai terbawa tidur dan bersifat komulatif, dan dia tidak mampu mengatasinya, dapat mengakibatkan gangguan dalam dirinya,” ujar Prof. Suryani. –ast.